Wednesday, March 5, 2014

Cerita Bubur Ayam (bukan tentang menjadi hater dan lover)

oh.. bubur ayam

Kali ini saya ingin bercerita tentang diri saya sendiri dan bubur ayam. Saya bukanlah seorang penjual bubur ayam. Saya juga tidak berniat jadi tukang bubur biar bisa naik haji. Kalau naik haji mah sudah dimasukkan ke dalam daftar kebutuhan pokok. Namun ini adalah cerita yang membuat saya berubah dari seorang bubur ayam's hater menjadi bubur ayam's lover. Pengen tahu bagaimana ceritanya? pengen tahu banget atau pengen tahu aja? Oiya, saya lupa mengatakan bahwa saya cuma punya tahu sumedang, tahu gejrot, tahu bulat, sama tahu isi. Jadi kalau pengen tahu banget atau tahu aja, silakan minta saja ke tetangga sebelah.

Berawal dari rasa penasaran saya terhadap bubur ayam yang saya ketahui dari nonton tivi, atau pun membaca novel dan beberapa artikel. Waktu itu saya belum tahu seperti apa itu bubur ayam, karena di tempat saya juga tidak pernah diperkenalkan makanan yang bernama bubur ayam itu. Sesampainya di pulau jawa ini keingintahuan saya terhadap bubur ayam ini semakin menjadi-jadi. Lalu, mulailah saya bertanya-tanya tentang gimana sih rasa bubur ayam? dijual dimana serta berapa harganya. Namun rasa penasaran itu langsung luluh lantak ketika saya mendengar komentar yang kurang enak tentang bubur ayam. komentar itu tidak hanya dari satu orang saja, tetapi sebagian besar orang (teman-teman sesama dari sumbar) memberikan komentar negatif terhadap bubur ayam. Mulai dari bentuknya yang campuraduk berantakan kaya *maaf "itu", yang melihatnya saja sudah menghilangkan selera makan, sampai ada yang mengatakan rasanya aneh persis seperti bentuknya itu. Dan saya menjadi terdoktrin saat itu bahwa bubur ayam itu adalah makanan yang tidak enak. Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai ragu dengan apa yang dikatakan orang-orang yang kontra dengan bubur ayam. Kalo bubur ayam itu tidak enak, mengapa gerobak tukang bubur itu selalu rame dikunjungi pembeli setiap pagi? dan saat itu saya merasa heran sendiri melihat orang2 yang dengan santainya menikmati makanan aneh seperti bubur ayam. Dan jika ada teman dekat yang suka dengan bubur ayam saya akan merasa kaget sambil bertanya,"Hah? kamu suka bubur ayam??". "enak keuleus", jawabnya. Hingga tiba di suatu hari yang sangat fenomenal, ketika saya memutuskan untuk mencoba bubur ayam untuk pertama kalinya. Saya dapati seorang penjual bubur dengan senyumnya mengantarkan semangkok cairan putih itu dengan ditaburi potongan cakue, ayam, serta sedikit seledri, kacang dan bawang goreng. Taburan itu tertata rapi seolah mereka berfungsi menutupi bagian bubur yang akhirnya kusingkap dan kucampuradukkan menjadi satu. Begitulah yang kulihat orang lain mempersiapkan bubur mereka sebelum dimakan. Kemudian mereka menambahkan kecap hingga bubur putih itu terlihat agak kecoklatan, kemudian menaburkan kerupuk di atasnya. dan hap hap sesendok demi sesendok bubur ayam itu melaju ke arah mulut mereka melewati seluruh saluran pencernaan. Sebagai niubi, saat itu saya hanya bisa meniru apa yang mereka lakukan dalam memakan bubur ayam. Hingga akhirnya, kusadari bahwa bubur ayam yang sedang kumakan itu rasanya ternyata memang tidak enak. Dan baru kali itu bubur ayam pertama yang saya makan bersisa banyak. Semenjak saat itu saya mulai aktif mengampanyekan bahwa bubur ayam itu memang tidak enak, dan saya tidak suka. Serta selalu menceritakan pengalaman makan bubur ayam pertama kali itu kepada setiap orang dalam obrolan tentang culinary. Dan mulai saat itu saya mulai menjadi unlikers bubur ayam. Terlalu ekstrim rasanya jika saya katakan saya hater. Tapi memang saya adalah hater bubur ayam sampai saya capek sendiri menjadi hater.

Menjadi seorang haters memang sangat melelahkan, bagi saya. Karena saat itu sebenarnya saya pun sudah menyadari kesalahan saya dalam menikmati bubur ayam. Namun ego diri tidak bisa diajak berkompromi untuk mengakui kesalahan itu. Pertama, saat persiapan memakan bubur ayam tersebut saya terlalu terbawa emosi, mengaduk-aduknya menjadi satu, sehingga benarlah persepsi yang tertanam selama ini bahwa bubur ayam itu seperi *maaf “itu”. Apalagi setelah menambahkan kecap dengan menirukan metode orang lain, makin sempurna bentuknya seperti yg saya persepsikan. Dan saya sendiri  sebenarnya, memang kurang menyukai makanan yang manis-manis berkecap. Walaupun memakan buburnya ditutupi dengan banyak kerupuk di atasnya tidak akan mengubah rasa bubur ayam yang sudah saya bumbui kecap tersebut. kedua, saya waktu itu merasa bodoh tidak percaya apa kata orang, dan merasa tertipu dengan penjual bubur karena tidak sanggup mengenyangkan saya, “lebih baik tadi saya makan lontong kari aja, kalau tau gini”. Maklum tahun pertama itu uang jajan masih pas-pasan. Hingga saya menyadari faktor ketiganya bahwa tidak ada yang bisa mematahkan komitmen saya untuk berhenti menjadi hater bubur ayam dan mencoba kembali dengan evaluasi kesalahan yang telah saya sadari saat menikmati bubur ayam. Ketiga faktor itu berdiri kokoh sampai saya memasuki tahun ke empat masa perkuliahan di Unpad. Saat itulah masih dengan berat hati saya hancurkan ego-ego serta persepsi tentang bubur ayam, yang selama 3 tahun ini menguasai diri ini. Waktu itu pagi hari, saya menerima bubur ayam apa adanya walaupun harus ada pemaksaan terlebih dahulu. Dan saya anggap pemaksaan itu sebagai bayaran untuk bubur ayam pagi itu, karena bubur ayamnya memang GRATISs!! Saya ditraktir dan juga anggota “genk” lainnya oleh “bos genk” kita. Sebagai calon enterpreneur sukses di Indonesia, alasan yang saya terima dari analisis untung rugi saat itu sangat logis. Jika memang saat itu rasa bubur ayam tidak enak (seperti dulu) saya tidak dirugikan sedikit pun, karena buburnya sudah dijanjikan gratis. Namun jika ternyata bubur ini layak makan dan enak rasa, saya berkesempatan membawa hidup saya pada sebuah perubahan besar tentang cara pandang terhadap bubur ayam.

Bubur ayam kali ini tidak jauh berbeda daripada bubur ayam pertama yang saya terima dari sisi tampilan, bedanya kali ini ditambahkan sebutir telor rebus. Kali ini saya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama lagi seperti 3 tahun lalu. Saat buburnya dihidangkan tidak saya aduk sedikit pun. Dan tanpa menggunakan kecap saya mulai menikmati bubur ayam pagi itu dengan menambahkan taburan abon cabe di atasnya. Walaupun saat itu teman saya memperingatkan, “ awas kepedasan, abon cabenya jangan banyak-banyak”, saya hanya menambahkan 2 sendok taburan saja. Mengawali dengan bismillah, sesendok demi sesendok bubur ayam itu mulai meluncur ke dalam mulutku dan melewati setiap saluran pencernaan. Pada awalnya bayangan tentang tidak enaknya bubur ayam masih sedikit menyelimuti pikiranku. Namun, lama kelamaan cita rasa bubur ayamku saat itu membuat penasaran, hingga tanpa terasa mangkoknya sudah menjadi kosong dalam sekejab. Sambil kepedasan gara-gara nikmatnya abon cabe, meluncurlah sebuah candaan saat itu, “Wah, bubur ayamku mana?? Pasti ini mangkoknya bocor nih. Parah..”, yang ikuti tawa renyah yang lainnya. Lengkap sudah kenikmatan bubur ayam pagi itu. Dan pagi itu aku menikmati semangkok bubur ayam terenak sedunia untuk pertama kalinya. Entah itu karena bubur ayamnya gratis atau memang rasanya yang luar biasa, aku tak peduli. Hari itu telah menjadi hari bersejarah seumur hidup saya yang telah mengubah persepsi, cara pandang, serta menyadarkan saya dalam memandang bubur ayam selama ini. Aku telah menemukan caraku sendiri dalam menikmati bubur ayam. Mulai hari itu jadilah diriku seorang bubur ayam’s lover.  Bukan karena bubur ayamnya, namun karena rangkaian pelajaran hidup yang sangat berharga yang saya dapatkan bersama kisah bubur ayam ini.

Saya sangat bersyukur dapat menyelesaikan tantangan bubur ayam ini. Setelah melewati proses yang panjang ini tidak mungkin lagi muncul perasaan benci dengan bubur ayam itu. Dan teman-teman yang masih tidak menyukai bubur ayam, mungkin mereka masih belum menemukan caranya sendiri untuk menikmati bubur ayam itu. Saya mengerti sekali, karena saya pernah berada di posisi mereka selama kurang lebih 3 tahun lamanya.

Petikan Hikmah :
Mungkin ada beribu orang yang memiliki pengalaman yang sama seperti saya ini dalam masalah lainnya. Bukan bubur ayam. Bertahun-tahun menjalani hidup dengan membenci sesuatu sementara fikiran selalu terikat bersamanya melewati setiap waktu. Pernah meragukan keputusan kita dan mencoba untuk mencobanya sekali, namun ternyata benar merasakan ketidakenakan. Kemudian melanjutkan lagi untuk membecinya. Bahkan mengampanyekan pada setiap orang beserta cerita pengalaman pribadi kita saat bersamanya waktu itu. Saya rasa itu adalah hal yang sangat wajar, karena itulah yang saya alami selama ini. Dan telah saya ceritakan pengalaman saya ini kepada anda. Jika anda membacanya. Waktu itu saya juga merasakan takkan tergoyahkan lagi oleh apa pun, namun akhirnya saya sadari itu adalah ego, tidak seharusnya ia mengendalikan diri ini. Hatilah yang paling berhak mengarahkan seluruh jiwa, raga, serta ego (nafs). Hingga pada akhirnya aku merasa bebas ketika menemukan caraku sendiri menikmati bubur ayam. Aku merasa menjadi pemenang ketika berhasil mengalahkan diri sendiri. Dan jika saat ini ada yang mengatakan bubur ayam itu tidak enak, saya hanya bisa tersenyum seolah melihat diriku yang dulu. Dan saya tidak akan menolak jika ada yang mengajakku sarapan bubur. Apalagi kalau itu gratis.

#PondokShorea, 17 Februari 2014 with love
@ibnujharkasih

1 comment:

Ibnu Jharkasih said...

di sini juga ada >> http://kaseeh-do-it.tumblr.com/post/77514031986/cerita-aku-dan-bubur-ayam

Post a Comment