Monday, June 9, 2014

Rebut Kembali KEMERDEKAAN INDONESIA!


Dimuat di Harian Haluan Jumat, 30 May 2014 


Indonesia me­ru­pakan negara terbesar keempat di dunia berdasarkan luas wila­yahnya yang memiliki ke­kayaan alam yang tak terhitung nilainya. Orang bilang tanah kita tanah surga. Sudah lebih dari 67 tahun Indonesia mer­deka semenjak diprok­lamir­kannya kemerdekaan Indonesia oleh proklamator kita pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama itu pula pemimpin-pemimpin negeri ini berjuang untuk menjadikan Indonesia negara yang berdaya.


Namun apa yang kita rasakan saat ini tidaklah sebijak apa yang seharusnya telah dicapai oleh negara setua ini.


Dalam umur Indonesia yang sudah terbilang tua ini, se­baiknya kita kembali mem­pertanyakan apakah saat ini Indonesia sudah benar-benar merdeka dan berdaulat sepe­nuhnya? Amien Rais menga­takan, dalam bukunya “Sela­matkan Indonesia!”, kemer­dekaan dan kedaulatan Indo­nesia saat ini masih semu, dan belum kita miliki sepenuh­nya. Sebagai negara yang pernah dijajah, Indonesia saat ini masih mengalami penjaja­han dengan bentuk dan format yang berbeda. Indonesia sudah menjadi korban arus globalisasi barat yang tak terbendung masuknya, menye­babkan bangsa ini tetap tergan­tung dan menggantungkan diri pada kekuatan asing dalam banyak hal. Sebagai bangsa kita telah kehilangan keman­dirian, dan sampai batas yang cukup jauh, kita juga sudah kehilangan kedaulatan eko­nomi.1


Kemerdekaan Indonesia ini diperjuangkan oleh orang-orang hebat. Kemerdekaan yang diperjuangkan itu tidak hanya merupakan hasil jerih payah pahlawan pada tahun 40’an, tapi juga merupakan aku­mulasi semangat ke­mer­dekaan yang diwariskan oleh para pahlawan selama 350 tahun sebelumnya. Namun, se­jak 17 Agus­tus 1945 In­donesia mer­deka sampai se­ka­rang, saya rasa yang pantas di­sebut zaman ke­mer­dekaan itu hanya selama zaman peme­rin­tahan Soekarno-Hatta dan kawan-kawan. Setelah itu tidak ada lagi ke­merdekaan. Indonesia seolah menyerahkan ke­merdekaan Indonesia kepada lintah darat dunia IMF, World Bank, dan WTO (World Trade Orga­nization) yang me­rupakan tiga institusi pilar penopang globa­li­sa­si dunia. Ketiga ins­titusi ini dengan lihainya memainkan glo­balisasi sebagai proses pe­miskinan kaum melarat dunia dan pengayaan kaum kaya.


Dengan mem­berikan in­vestasi, mengatur eko­nomi dan aliran pasar modal, Indonesia menjadi salah satu korban kebiadaban mereka. Memang benar, pada zaman orde baru kita membangun negeri kita, memajukan pendi­dikan, dan sumber daya manu­sia dan sumber daya manusia lainnya. Namun di balik itu semua kita dinaungi bayang-bayang gelap yang merenggut kemandirian kita sebagai bangsa. Ketika mereka menagih utangnya kita tidak bisa melalukan apa-apa. Apa yang bisa dilakukan Indonesia kemudian? Tentu saja menjual apasaja yang di­milikinya demi menutupi utang itu. Kita lihat saja, pada saat ini yang menguasai sebagian besar sumber daya alam Indonesia yang bonafit seperti pertam­bangan dan perminyakan bukan Ind­o­nesia. Li­­hat sia­pakah yang me­miliki 6 dari 10 per­bankan yang ada di negeri yang kita cintai ini? bukan Indonesia. Per­tanyaan terakhir, jadi milik siapakah Indonesia ini seka­rang? Apakah Indonesia ini masih milik rakyat Indon­esia? Apakah masih pantas kita disebut sebagai negara yang merdeka? Indonesia saat ini seperti seseorang yang punya rumah yang sibuk memper­indah pagar rumahnya semen­tara membiarkan siapa saja mengambil yang terdapat dalam rumah tersebut.


Bukan bermaksud untuk men­yebarkan pesimisme terha­dap Indonesia, Tapi inilah fakta yang sedang kita hadapi saat ini. Semoga saja masih ada harapan dan optimisme untuk membangun kembali Indonesia ini. Bukan tidak mungkin Indonesia kelak menjadi negara yang mandiri. Ma­sal­ah­nya bukan seberapa besar ma­salah yang kita miliki, namun sebe­rapa besar jiwa kita untuk menghadapi masalah tersebut.


Dalam keadaan Indonesia yang kritis seperti ini, Indonesia dihadapkan pada dua pili­han. Mem­biarkan bangsa ini terus men­derita sampai mati, atau mem­bangkitkan kembali se­mangat per­juangan rakyat In­don­esia dan memberikan solusi tepat yang dapat mem­bangun Indonesia agar lebih baik lagi kedepannya.


Kedua pilihan ini ditujukan kepada para pemuda Indonesia yang merupakan aset terbesar bangsa dalam pembangunan negeri. Melalui tangan-tangan dan pikiran para pemuda Indonesia, kelak Indonesia akan menjadi negara yang berjaya di mata dunia. Begitu berhar­ganya seorang pemuda menu­rut Ir. Soekarno, Proklamator sekaligus presiden pertama Indonesia, “Berikan aku 10 orang pemuda, maka aku akan menggoncang dunia”. Maka ketika pemuda saat ini bersikap acuh tak acuh tehadap keadaan negara saat ini dan lebih menikmati arus globalisasi yang membabibuta, secara otomatis pilihan perta­malah yang kita ambil. Mari bersama kita saksikan bagai­mana negeri ini akan mati secara perlahan. Namun, apabila sepuluh orang pemuda saja sudah sadar, seperti yang dikatakan Soe­karno, sesung­guhnya itu sudah cukup untuk mulai meng­goncangkan dunia. Seka­rang pertanyaannya, apakah pemuda Indonesia sudah termasuk kategori sepuluh pemuda yang akan menggoncangkan dunia ini? Hanya anda yang mampu menjawabnya.


Wajah Indonesia saat ini, merupakan cerminan para intelektual yang berkiprah di Indonesia, lebih khususnya lagi pemudanya. Para intelektual dan pemuda Indonesia sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa. Maka sebagai mahasiswa kita mempunyai tanggung jawab besar dalam mengatasi permasalahan negara ini. Bisa jadi keadaan Indonesia saat ini merupakan cerminan dari rakyat, termasuk maha­siswanya, yang berkiprah di Indonesia. Untuk membuat keadaan Indonesia yang berbeda kita harus melakukan sesuatu yang berbeda pula untuk membangun negeri ini. Mari kita memantaskan diri menjadi manusia yang mandiri. Hal ini akan tercermin pula sebagai wajah baru Indonesia. Mulai dari diri sendiri, kemudian sebarkan kepada orang lain. Ketika sudah semakin banyak yang menyadari keadaan seperti ini dan memantaskan diri untuk perubahan Indonesia yang lebih baik, maka kejayaan Indonesia akan semakin dekat.


Ayo bersama-sama kita rebut kembali kemerdekaan Indonesia!






IBNU JHARKASIH
@ibnujharkasih
(Kepala Departemen Seni dan Budaya Unit Pencinta Budaya Minangkabau 2012)

No comments:

Post a Comment