semalam itu lampu mati, ketika saya sedang makan nasi goreng bersama teman saya. tiba-tiba semua menjadi gelap. dan tahu apa, disekitar tempat makan tersebut langsung terdengar suara teriakan sesaat setelah lampu mati. teriakan apa? apalagi kalau bukan teriakan mengutuk kegelapan.
lalu aku? aku. aku tidak terbiasa mengutuk kegelapan. Dengan bantuan cahaya dari lampu hape yang sudah ngos-ngosan (baca: low batery) segera kuselesaikan makan malamku. baru, setelah itu orang-orang di sekitarku membicarakan lilin sembari si penjual nasi goreng menyalakan lilin untuk kita.
maka aku jawab, "ADA". ketika aku teringat sebuah pertanyaan dari kitab suci, "adakah engkau mengambil pelajaran wahai orang-orang yang berfikir?"
***
Aku Ingin Mengutuk Kegelapan
Tidak ada ‘se-satu’ pun yang suka dikutuk, termasuk kegelapan. Tetapi saat ini aku ingin mulai mengutuk kegelapan. Walaupun aku tak tahu bagaimana cara mengutuk kegelapan. Aku ini mengutuk kegelapan. Ya, aku benar-benar ingin mengutuk kegelapan.
Ada seseorang yang mengatakan, “Hey.. Lebih baik kita menyalakan lilin-lilin kecil, daripada hanya mengutuk kegelapan”. Ya, saya setuju, memang benar itu lebih baik. Tetapi entah kenapa saat ini aku hanya ingin mengutuk kegelapan. tidak salah kan jika kita mengutuk kegelapan sambil menyalakan lilin-lilin kecil? Tetapi saat ini aku hanya ingin mengutuk kegelapan.
Ada lagi yang berkata, “Percuma, kalau hanya mengutuk kegelapan kalau tidak ada aksi nyata untuk menghadirkan cahaya terang”. Nah, itu yang ku maksud. Tapi aku paling tidak suka dengan kalimat seperti itu, kalimat yang mengandung unsur merendahkan usaha orang lain tapi tak melakukan aksi apapun untuk solusi yang ditawarkan. Trus kalau gua mengutuk kegelapan kenapa? Percuma gitu? Trus lu udah ngelakuin apa aja? Ahh.. sekarang aku benar-benar ingin mengutuk kegelapan. Terlalu banyak sisi gelap yang harus ku kutuk. Bahkan pada sisi yang kelihatannya dari depan terang-benderang, ternyata kegelapan dibelakangnya juga gelap gulita. Ahh.. sekarang kukutuk kau, wahai kegelapan!
Lalu ada yang menasihati, “Sudahlah, berhentilah mengutuk kegelapan. Mari bersama-sama kita menyalakan lilin. Bahkan kalau mau, mari kita rancang sistem penerangan yang masif agar tidak ada lagi kegelapan”. Tahu? Tahukah anda apa yang kurasakan saat mendengarkan nasihat itu? rasanya seperti menemukan penjual es kelapa muda yang dicampur madu di tengah gurun sahara. Nasihat itu menujukkan bahwa satu kegelapan yang terkutuk telah musnah pada satu jiwa manusia. Bahkan satu solusi cemerlang telah meluncur dari seorang yang bijak. Namun, bukan berarti nasihat tersebut dapat menghentikanku dari mengutuk kegelapan. Aku tetap ingin mengutuk kegelapan.
Aku ingin mengutuk kegelapan bukanlah suatu hujatan untuk anda atau siapapun. Jadi tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tersinggung dengan tulisan ini. Dan maafkan jika saya membuat pagi anda terasa tidak nyaman, karena tumpahnya ide tulisan ini dari fikiran saya. Ini hanyalah sebuah pesan dari hati yang terpenjara dalam kegelapan yang ingin segera bebas. Jika saya berhasil membuat anda tidak nyaman dan merasa peduli dengan kegelisahan saya, anda sangat berpotensi sebagai menjadi cahaya dalam kegelapan. Namun jika sebaliknya yang terjadi, saya sarankan untuk segera berhenti melanjutkan membaca tulisan ini. Mungkin masih banyak hal lain yang lebih bermanfaat anda lakukan di luar sana, daripada harus membiarkan jiwa dan fikiran anda terbuka atau pura-pura peduli. Sudahlah, jangan dipaksakan.
Izinkan saya sedikit bercerita dengan sebuah cerita ilustrasi dari kisah nyata. Oya, Saya anggap anda yang melanjutkan membaca ini “peduli”. Lanjut, begini ceritanya. Saat suatu malam tiba-tiba lampu mati (atau listrik padam), dan dari sinilah terjadi beberapa adegan berdasarkan beberapa kepentingan yang berbeda-beda. Pertama, jika ada seseorang yang sedang mengerjakan tugas atau bermain game dengan komputer, tentu saja mereka akan mengutuk kegelapan. Kedua, Orang yang sedang menulis, makan dan membaca atau siapa saja yang menggunakan lampu sebagai penerangan, mereka juga akan mengutuk kegelapan. Ketiga, Orang yang sedang berjalan yang hanya diterangi lampu jalanan yang tiba-tiba mati, mungkin mereka juga akan mengutuk kegelapan. Keempat, seseorang yang mengendarai motor tanpa lampu pada malam hari yang gelap, akan mengalami resiko kecelakan yang tinggi. Mungkin contoh, tersebut akan saya jadikan studi kasus dalam pembahasan ini. Oke, saya tahu masih kasus-kasus tersebut memang tidak sepenuhnya dapat mewakili argumen saya untuk mengutuk kegelapan. Pasti ada diantara orang-orang tersebut yang mencari alternatif lain untuk mengatasi kondisi gelap tersebut. Saya yakin, banyak orang yang seperti itu. namun saya tidak akan membahas orangnya, saya akan membahas kenapa begini, kenapa begitu. Kenapa kebanyakan orang hanya bisa mengutuk kegelapan. Kenapa ada juga yang hanya menyalakan lilin. Dan kenapa ada yang tidak peduli. Serta kenapa kenapa yang lainnya.
Pertama, kenapa kebanyakan orang hanya bisa mengutuk kegelapan? Pada contoh kasus pertama, kedua, dan ketiga saya menceritakan dengan ilustrasi mereka semua mengutuk kegelapan. Lalu kenapa? Ya tidak apa-apa. Begini begini, mari saya perjelas pernyataan saya sebelum menyatakan beberapa kasus tersebut, beberapa adegan terjadi berdasarkan beberapa kepentingan yang berbeda-beda. Sebagian besar terjadi malah tanpa alasan, kenapa? Karena kegelapan. Kegelapan membuat seseorang melakukan sesuatu secara spontan tanpa alasan. Namun saya dapat mengungkapkan alasannya di sini kenapa orang mengutuk kegelapan:
- Ambisi. Ketika ambisi kita terlalu tinggi untuk menggapai sesuatu, tidak ada yang boleh menghentikannya. Ketika kegelapan datang menghalangi, hal pertama yang paling tepat dan sempat dilakukan adalah mengutuk kegelapan.
- Kelemahan. Orang yang terlampau sering mengutuk kegelapan secara tidak sadar mereka sedang mempublikasikan kelemahannya, ketidakmampuannya mengatasi sendiri. Apakah ini buruk? Tidak kawan, jangan dahulukan fikiran negatifmu, dia membutuhkan dukungan dan bantuan dari orang lain, termasuk kamu.
- Ketakutan. Ketakutan itu seperti uang koin yang memiliki dua sisi. Orang yang takut secara otomatis akan mengutuk kegelapan. Orang yang takut akan mencari solusi untuk mengatasi ketakutannya, tapi tetap saja dia adalah orang yang takut.
- Perfeksionis. Alasan ini juga yang menyebabkan seseorang seringkali mengutuk kegelapan. Jika sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan atau harapan. Jika kegelapan yang terjadi mengurangi nilai sempurna terhadap project yang dikerjakannya.
Lilin itu lama-lama bisa habis. Maka, untuk kondisi mendesak kita boleh saja menyalakan lillin. Namun untuk jangka panjang, semua orang harus menyadari bahwa mereka cahaya-cahaya itu. dan mereka harus mulai bersinar untuk menerangi kegelapan, serta memicu menyalakan cahaya-cahaya baru lainnya. Jadi, alasan kenapa orang menyalakan lilin menurut saya adalah sebagai tindak lanjut dari alasan kenapa orang mengutuk kegelapan.
Terakhir, kenapa ada yang tidak peduli? Karena memang mereka tak pernah peduli, bahkan pada dirinya senidiri. Tidak punya tujuan dalam hidup. Mungkin ini akan berbahaya bagi dirinya sendiri. Atau bisa juga karena rasa percaya diri yang terlalu tinggi seperti contoh kasus keempat. Ini lebih bagus malah daripada mengutuk kegelapan atau menyalakan lilin. Tapi tindakan ini sangat berbahaya bagi keselamatan anda dan orang lain.
Dan pada saat menulis tulisan ini, saya tiba-tiba melihat postingan Mario Teguh. Dia berkata seperti ini,
“Saat engkau merasa berada dalam kegelapan, bersabarlah, karena sesungguhnya engkau hanya sedang berada dalam bayangan sesuatu yang besar.Setelah gelapmu, akan datang pencerahan jiwa dan hatimu. Bersabarlah. - Mario Teguh.”
Terserah anda akan membuat sebuah kesimpulan dari tulisan ini, atau menjadikan ini sebagai sebauah pandangan dari sisi orang yang sedang mengutuk kegelapan. Terserah. Yang jelas saat ini aku ingin mengutuk kegelapan. Tujuan kita mungkin sama, agar tidak ada lagi kegelapan di dunia ini dalam berfikir, bertindak, maupun memimpin. Agar setiap orang dapat memancarkan cahayanya dan menstimulus orang untuk bercahaya. Kutuklah kegelapan. Hiduplah
No comments:
Post a Comment