Ditinggal sendirian di tengah hutan oleh teman-temannya.
“Malangnya nasibmu, Din! Dan bodohnya lagi, kau tidak memanggil teman-temanmu
untuk sekedar menunggumu. Aku sendiri sebenarnya sangat bingung akan tingkahmu
ini, Din. Ah, peduli amat aku.” Kadang begitulah pikiranku berpendapat
tentangnya.
aku dan Udin |
Mungkin kau tidak
mengerti dengan apa yang kukatakan ini. Baiklah, akan kupersingkat saja
ceritanya. Kau tahu sendirilah, kawan. Dari sifat Si Udin yang kuceritakan
kepadamu tentu kau akan berfikir bahwa Si Udin ini adalah seorang anak yang
periang dan bersuka cita. Memang benar, kawan. Kau tidak salah lagi, tepat
sekali benar. Sehari-hari Si Udin adalah anak yang periang dan juga humoris.
Kau tidak akan melihat senyuman teduh itu terlepas dari wajahnya. Terkadang jika kau beruntung akan
kau dapatkan pula tawanya yang hangat. Aih! Mungkin kau kira deskripsi ku
tentang Udin terlalu lebay dan berlebih-lebihan. Tapi begitulah adanya, kawan.
Walau pun begitu, ada kisah yang ingin aku ceritakan tentang Si Udin kepadamu,
kawan. Kisah yang dia ceritakan kepadaku dua hari yang lalu. Dia bilang jangan
ceritakan pada orang lain. Tapi kau tahu sendiri lah aku ini, aku suka tidak
tahan jika menyimpan emosi sahabatku yang menggebu-gebu ini di dalam otakku
sendiri. Hal ini kurasakan seperti bom yang diberikan Si Udin kepadaku. Bom ini
hampir meledak, rasanya tidak mungkin saja jika aku simpan saja bomnya kemudian
aku meledak. Setidaknya bom ini aku lempar ke udara dan meledak disana, sehingga
semua orang selamat dan tidak ada yang terluka. Nah, itulah yang sedang
kulakukan kini, kawan. Toh, aku rasa aku tidak mengkhianati Si Udin dengan
menceritakan kisahnya itu. Aku kan hanya menulis, dan kebetulan mem-posting-nya di sini. Masalah kau membaca
tulisanku ini, tentu itu bukan urusanku. Itu urusanmu, kawan. Karena rasa
ingin-tahumu terhadap Si Udin kan? Jangan salah kan aku dong kalau begitu.
kelompok petualang si Udin |
Lalu bagaimana
dengan Si Udin dan teman petualangnya yang lain?
Awalnya sih berjalan lancar ketika persiapan. Namun semuanya tidak selancar
yang kau bayangkan pada hari keberangkatan. Koordinasi dalam kelompok kacau
balau, fungsi kepemimpinan hilang, kendali diambil alih, dan entah apa lagi aku
tidak ingat betul urutannya. Begitulah yang Udin ceritakan padaku, kawan. Dan
kejadian itu berhasil membuat Si Ceria, Udin, menjadi sedih dan mengurung diri
di kamar. Awalnya aku pun tidak mengerti bagaimana perasaan serta kondisi
emosional Udin saat itu. Namun aku ingat betul nasihat Udin dahulu saat aku
mengalami masalah juga. “Isi fikiran kita memang berbeda-beda, maka saling
memahamilah yang harus kita lakukan”. Lalu kusampaikan lagi kata-kata itu
padanya, tentunya juga aku resapi nasihat itu buat diriku sendiri untuk
memahami keadaan Si Udin. Aku rasa kau juga begitu kan, kawan? Ah! Kurasa kau
belum mengerti juga dengan apa yang kuceritakan. Biar kuperjelas kronologis
kejadiannya. Ini demi kau, kawan. Pada malam sebelum keberangkatan ke Gunung
Gajah, wakil kepala suku mengirimkan surat perintah kepada Kambing Jantan, Si
Udin, untuk mengkoordinasikan keberangkatan anggota kelompok petualang ke
Gunung Gajah. Sang wakil akan menyusul kemudian dengan menggunakannya kudanya,
karena beliau juga ada pertemuan sebelumnya dengan kelompok viking biru.
Kemudian diiyakannya saja permintaan itu. Keesokan harinya Udin mengirimkan
surat dengan merpatinya kepada Wilson, satu-satunya anggota kelompok yang
berkebangsaan Amerika. Dan mendapat balasan bahwa keberangkatan akan dilakukan
siang nanti. Setelah persiapan diri, sebelum tengah hari, Udin berjalan menuju
hutan untuk mengambil beberapa keping emas untuk biaya perjalannya yang ia
simpan di suatu tempat rahasia di dalam hutan. Sembari menikmati buah di bawah
pohon, di ladang milik seorang petani kaya, seekor merpati surat datang
menghampirinya. Dibacanya, surat tersebut berasal dari anggota petualang junior
yang ingin bergabung. Kemudian dibalasnyalah supaya datang sebelum matahari
menunjukkan angka dua, karena pertemuannya adalah pada waktu itu. Rencana perjalanan
akan menggunakan pedati kuda yang biasa lewat di dekat hutan. Kemudian ia
kembali duduk di dekat hutan sambil menunggu teman-temannya, ia mengeluarkan
bola kristalnya untuk sekedar melihat keadaan dunia, serta mengirimkan surat
merpati kepada ibu kepala suku tentang hal keberangkatan ke Gunung Gajah. Pada
surat balasannya ibu kepala suku menuliskan bahwa ia sedang menunggu anggota
kelompok lainnya, Si Ayam Jantan, yang sedang menjemput Putri Lembang, serta menanyakan apakah Udin ingin ikut?
Aish! Kalau kau jadi Udin, kawan. Kau pasti akan
kesal dan membanting-banting merpati itu, kan. Tapi Udin tak begitu, kawan. Dia
orang yang kuat dan tidak mudah terbawa emosi.
Kemudian Udin hanya membalas
lagi surat tersebut dengan berita keikutsertaannya dan beberapa anggota junior
lainnya dalam perjalanan ini. Aku tahu saat melempar merpati surat itu ke udara
Udin tidak peduli lagi dengan fungsinya sebagai koordinator perjalanan yang
disebutkan wakil kepala suku. Yang aku tahu dia selalu memikirkan yang terbaik
bagi perjalanan serta nama baik kelompok petualangnya walaupun dengan cara yang
berbeda. Sembari menunggu merpatinya kembali Udin kembali memperhatikan bola
kristalnya. Pada saat itu melintaslah sesuatu di fikiran Udin, mungkinkah ibu kepala suku
menunggu si Ayam Jantan karena ia memakai pedati kuda sewaan. Setelah fikiran
itu berlalu, muncullah seekor merpati surat. Ternyata itu bukan merpati surat
miliknya, melainkan merpati surat dari anggota junior yang membatalkan
kepergiannya. Dikembalikannyalah merpati itu pada pemiliknya setelah membalas
‘tidak apa-apa’. Lalu dimanakah merpati milik Udin berada? Apakah merpati itu
tersesat?atau ibu kepala suku sengaja menahannya dan tidak membalas? Semuanya
masih menjadi misteri sampai sekarang. Dan pada saat matahari mendekati angka
dua pun merpati Si Udin belum juga kembali. Bahkan setelah melebihi angka dua
menuju angka tiga hingga matahari terbenam pun sampai sekarang ini merpati itu
belum juga kembali pada tuannya. Saat itu Si Udin menyangka bahwa ia telah
ditinggalkan oleh teman-temannya. Mereka telah pergi. Mereka meninggalkan Udin
sendirian di tengah hutan tanpa mengembalikan merpatinya. Kemudian Udin hanya
bisa berbalik badan dan kembali ke rumahnya dengan perasaan sedih, kecewa, dan
perasaan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Hingga akhirnya ia
memutuskan untuk mengurung diri di kamar demi menenangkan hatinya. Namun hal
itu tidak berakhir sampai disini, ketika wakil kepala suku tiba-tiba melakukan
telepati mendadak menanyakan alasan ketidak-ikutsertaan dia dalam pertemuan
dengan Raja Kerbau di Gunung Gajah, ia agak kelabakan. Dengan agak tergagap
Udin memberikan alasan karena anggota junior memutuskan tidak jadi ikut, maka
ia juga tidak jadi ikut. Lalu kemudian telepati itu terputus.
Udin tahu, aku tahu,
bahkan kaupun pasti tahu alasan seperti itu sangat tidak masuk di akal untuk
menjawab pertanyaan seorang wakil kepala suku. Aku sendiri pun merasakan
bagaimana kekecewaan wakil kepala suku itu pada Si Udin. Tapi apa mau dikata
lagi, kau sendiri sudah tahu kan, kawan?
Bagaimana sifat si Udin itu. Dia tidak akan memebeberkan masalahnya
hanya untuk alasan pembelaan diri. Dia merasa lebih baik diam dan mengaku salah
daripada harus menyalahkan orang lain. Dan aku pikir tidak akan ada juga yang
akan menganggap ini sebagai sebuah masalah.
Tapi ini semua dia ceritakan
kepadaku, kawan. Hanya kepadaku saja. Dan sayangnya, akhirnya semua kuungkap
juga kepadamu. Ah! Aku tak peduli lagilah. Demi kebahagiaanmu, Din, apapun akan
kulakukan. Sungguh aku tak tahan melihatmu seperti dua hari yang lalu. Sekarang
kau tak perlu cemas lagi kan? Kau tahu ada aku, sahabatmu, di sini yang siap
mendengarkanmu kapan pun kau butuhkan aku. Sekarang kembalilah menjadi Udin
yang ceria lagi. Tak perlu kau pikirkan betul masalah itu lagi. Toh, itu sudah
berlalu kan. Dan kurasa tak akan ada lagi kok orang yang mengingatnya. Bangkitkan
lagi semangat yang dulu pernah membakarmu, Din. Aku selalu mendukungmu.
AKU
SELALU MENDUKUNGMUUU, DIIIN.
Udin, Ayo Semangat lagi, Din!
PD, 2012/02/07
No comments:
Post a Comment