Monday, February 6, 2012

Udin, Ayo Semangat lagi, Din!


Ditinggal sendirian di tengah hutan oleh teman-temannya. “Malangnya nasibmu, Din! Dan bodohnya lagi, kau tidak memanggil teman-temanmu untuk sekedar menunggumu. Aku sendiri sebenarnya sangat bingung akan tingkahmu ini, Din. Ah, peduli amat aku.” Kadang begitulah pikiranku berpendapat tentangnya.

aku dan Udin
Aku sedang membicarakan kisah tentang Si Udin. Seorang pelajar yang suka berpetualang dan berimajinasi luas. Dia adalah sahabatku. Kisah dia inilah yang ingin kuceritakan padamu, kawan. Sebelumnya kau harus tahu dulu, kawan, bahwa sebenarnya Si Udin ini adalah anak yang baik, pekerja keras, patuh pada orangtua, loyal, tidak sombong, suka menolong, serta rajin menabung. Itu baru segelelinitir kecil sifat positifnya yang aku ceritakan padamu. Kalau aku beberkan semua di sini kurasa kertas kecil ini tidak akan cukup untuk aku menceritakan kisahnya padamu. Jika kau benar-benar penasaran sama Si Udin, sahabatku ini, kau temui saja dia sendiri. Di kerumunan orang banyak jika kau melihat seorang pria yang senyumannya paling meneduhkan, kurasakan kau menemukan Si Udin, sahabatku itu. Jika kau ragu dan tidak percaya padaku, kau coba saja tanya sendiri siapa namanya. Aku yakin kau tidak akan percaya atas jawaban yang akan diberikannya, kawan. Namun jika kau mendapatkan bahwa dia bukanlah Si Udin yang aku ceritakan ini, berarti kau hanya belum beruntung. Coba lagi. Si Udin ini memang tidak begitu tampan, kawan. Sekilas jika kau lihat, dia lebih mirip seperti peran cowok MTV yang suka tayang di SCTV itu. Sangat biasa mungkin jika disebut biasa. Mungkin kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah unpredictable

Mungkin kau tidak mengerti dengan apa yang kukatakan ini. Baiklah, akan kupersingkat saja ceritanya. Kau tahu sendirilah, kawan. Dari sifat Si Udin yang kuceritakan kepadamu tentu kau akan berfikir bahwa Si Udin ini adalah seorang anak yang periang dan bersuka cita. Memang benar, kawan. Kau tidak salah lagi, tepat sekali benar. Sehari-hari Si Udin adalah anak yang periang dan juga humoris. Kau tidak akan melihat senyuman teduh itu terlepas dari  wajahnya. Terkadang jika kau beruntung akan kau dapatkan pula tawanya yang hangat. Aih! Mungkin kau kira deskripsi ku tentang Udin terlalu lebay dan berlebih-lebihan. Tapi begitulah adanya, kawan. Walau pun begitu, ada kisah yang ingin aku ceritakan tentang Si Udin kepadamu, kawan. Kisah yang dia ceritakan kepadaku dua hari yang lalu. Dia bilang jangan ceritakan pada orang lain. Tapi kau tahu sendiri lah aku ini, aku suka tidak tahan jika menyimpan emosi sahabatku yang menggebu-gebu ini di dalam otakku sendiri. Hal ini kurasakan seperti bom yang diberikan Si Udin kepadaku. Bom ini hampir meledak, rasanya tidak mungkin saja jika aku simpan saja bomnya kemudian aku meledak. Setidaknya bom ini aku lempar ke udara dan meledak disana, sehingga semua orang selamat dan tidak ada yang terluka. Nah, itulah yang sedang kulakukan kini, kawan. Toh, aku rasa aku tidak mengkhianati Si Udin dengan menceritakan kisahnya itu. Aku kan hanya menulis, dan kebetulan mem-posting-nya di sini. Masalah kau membaca tulisanku ini, tentu itu bukan urusanku. Itu urusanmu, kawan. Karena rasa ingin-tahumu terhadap Si Udin kan? Jangan salah kan aku dong kalau begitu.

kelompok petualang si Udin
Ah! Terlalu panjang kata pengantar, bisa-bisa aku lupa apa yang akan kuceritakan kepadamu. Kau jangan banyak menggugatlah, kawan. Dengarkan saja ceritaku. Kalau kau banyak tingkah bisa-bisa Si Udin tahu kalau aku menceritakan kepadamu bahwa dua hari yang lalu dia sangat sedih dan merasa down. Ah! Ku ceritakan juga ternyata akhirnya. Karena sudah terlanjur, tentu takkan ku biarkan kisah ini menggantung, kawan. Kau sekarang pasti bertanya-tanya, aku tebak begitu, apalagi kalau bukan kenapa seorang yang periang dan humoris seperti Si Udin tiba-tiba saja merasa sedih dan down. Jika kau tanyakan itu padaku, aku pun tidak mengerti, kawan. Coba saja kau tanyakan pada rumput yang bergoyang. Mungkin hanya dia yang tahu jawabannya. Tapi kau tahu sendiri toh, rumput pun tak bisa bisa bicara, kawan. Oke! Daripada kau dan aku menduga-duga seperti ini, tidakkah lebih baik aku lanjutkan saja ceritaku? Baiklah. Saat itu Si Udin dan kelompok petualangnya diundang oleh Raja Kerbau untuk berkunjung ke Gunung Gajah. Sebelumnya jangan kau pikir Raja Kerbau itu adalah seekor hewan kerbau, dia juga manusia seperti halnya kau dan aku. Tetapi begitulah nama-nama orang di dunia petualangan rimba, mereka dipanggil berdasarkan kondisi geografis daerah, suku serta ciri khas masing-masing. Kami menyebutnya dengan Nama Rimba. Aku pun dahulu memiliki nama rimba Singa Jantan, sedangkan Si Udin adalah Kambing Jantan. Namun semenjak kejadian yang tak bisa kuceritakan padamu, aku berhenti menjadi petualang rimba. Dan sekarang aku lebih suka menulis di rumah. Sedangkan Udin Si Kambing Jantan tetap melanjutkan petualangannya. Tapi kau tahu kan, kita tetap berteman sampai sekarang. Aiih! Kenapa jadinya aku yang curcol sama kau. Ah! Maafkan aku, kawan. Aku terlalu bersemangat mengingat masa kecerahanku di dunia petualangan. 

Lalu bagaimana dengan Si Udin dan teman petualangnya yang lain?
Awalnya sih berjalan lancar ketika persiapan. Namun semuanya tidak selancar yang kau bayangkan pada hari keberangkatan. Koordinasi dalam kelompok kacau balau, fungsi kepemimpinan hilang, kendali diambil alih, dan entah apa lagi aku tidak ingat betul urutannya. Begitulah yang Udin ceritakan padaku, kawan. Dan kejadian itu berhasil membuat Si Ceria, Udin, menjadi sedih dan mengurung diri di kamar. Awalnya aku pun tidak mengerti bagaimana perasaan serta kondisi emosional Udin saat itu. Namun aku ingat betul nasihat Udin dahulu saat aku mengalami masalah juga. “Isi fikiran kita memang berbeda-beda, maka saling memahamilah yang harus kita lakukan”. Lalu kusampaikan lagi kata-kata itu padanya, tentunya juga aku resapi nasihat itu buat diriku sendiri untuk memahami keadaan Si Udin. Aku rasa kau juga begitu kan, kawan? Ah! Kurasa kau belum mengerti juga dengan apa yang kuceritakan. Biar kuperjelas kronologis kejadiannya. Ini demi kau, kawan. Pada malam sebelum keberangkatan ke Gunung Gajah, wakil kepala suku mengirimkan surat perintah kepada Kambing Jantan, Si Udin, untuk mengkoordinasikan keberangkatan anggota kelompok petualang ke Gunung Gajah. Sang wakil akan menyusul kemudian dengan menggunakannya kudanya, karena beliau juga ada pertemuan sebelumnya dengan kelompok viking biru. Kemudian diiyakannya saja permintaan itu. Keesokan harinya Udin mengirimkan surat dengan merpatinya kepada Wilson, satu-satunya anggota kelompok yang berkebangsaan Amerika. Dan mendapat balasan bahwa keberangkatan akan dilakukan siang nanti. Setelah persiapan diri, sebelum tengah hari, Udin berjalan menuju hutan untuk mengambil beberapa keping emas untuk biaya perjalannya yang ia simpan di suatu tempat rahasia di dalam hutan. Sembari menikmati buah di bawah pohon, di ladang milik seorang petani kaya, seekor merpati surat datang menghampirinya. Dibacanya, surat tersebut berasal dari anggota petualang junior yang ingin bergabung. Kemudian dibalasnyalah supaya datang sebelum matahari menunjukkan angka dua, karena pertemuannya adalah pada waktu itu. Rencana perjalanan akan menggunakan pedati kuda yang biasa lewat di dekat hutan. Kemudian ia kembali duduk di dekat hutan sambil menunggu teman-temannya, ia mengeluarkan bola kristalnya untuk sekedar melihat keadaan dunia, serta mengirimkan surat merpati kepada ibu kepala suku tentang hal keberangkatan ke Gunung Gajah. Pada surat balasannya ibu kepala suku menuliskan bahwa ia sedang menunggu anggota kelompok lainnya, Si Ayam Jantan, yang sedang menjemput Putri Lembang, serta menanyakan apakah Udin ingin ikut?
Aish! Kalau kau jadi Udin, kawan. Kau pasti akan kesal dan membanting-banting merpati itu, kan. Tapi Udin tak begitu, kawan. Dia orang yang kuat dan tidak mudah terbawa emosi. 
Kemudian Udin hanya membalas lagi surat tersebut dengan berita keikutsertaannya dan beberapa anggota junior lainnya dalam perjalanan ini. Aku tahu saat melempar merpati surat itu ke udara Udin tidak peduli lagi dengan fungsinya sebagai koordinator perjalanan yang disebutkan wakil kepala suku. Yang aku tahu dia selalu memikirkan yang terbaik bagi perjalanan serta nama baik kelompok petualangnya walaupun dengan cara yang berbeda. Sembari menunggu merpatinya kembali Udin kembali memperhatikan bola kristalnya. Pada saat itu melintaslah sesuatu di  fikiran Udin, mungkinkah ibu kepala suku menunggu si Ayam Jantan karena ia memakai pedati kuda sewaan. Setelah fikiran itu berlalu, muncullah seekor merpati surat. Ternyata itu bukan merpati surat miliknya, melainkan merpati surat dari anggota junior yang membatalkan kepergiannya. Dikembalikannyalah merpati itu pada pemiliknya setelah membalas ‘tidak apa-apa’. Lalu dimanakah merpati milik Udin berada? Apakah merpati itu tersesat?atau ibu kepala suku sengaja menahannya dan tidak membalas? Semuanya masih menjadi misteri sampai sekarang. Dan pada saat matahari mendekati angka dua pun merpati Si Udin belum juga kembali. Bahkan setelah melebihi angka dua menuju angka tiga hingga matahari terbenam pun sampai sekarang ini merpati itu belum juga kembali pada tuannya. Saat itu Si Udin menyangka bahwa ia telah ditinggalkan oleh teman-temannya. Mereka telah pergi. Mereka meninggalkan Udin sendirian di tengah hutan tanpa mengembalikan merpatinya. Kemudian Udin hanya bisa berbalik badan dan kembali ke rumahnya dengan perasaan sedih, kecewa, dan perasaan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengurung diri di kamar demi menenangkan hatinya. Namun hal itu tidak berakhir sampai disini, ketika wakil kepala suku tiba-tiba melakukan telepati mendadak menanyakan alasan ketidak-ikutsertaan dia dalam pertemuan dengan Raja Kerbau di Gunung Gajah, ia agak kelabakan. Dengan agak tergagap Udin memberikan alasan karena anggota junior memutuskan tidak jadi ikut, maka ia juga tidak jadi ikut. Lalu kemudian telepati itu terputus. 
Udin tahu, aku tahu, bahkan kaupun pasti tahu alasan seperti itu sangat tidak masuk di akal untuk menjawab pertanyaan seorang wakil kepala suku. Aku sendiri pun merasakan bagaimana kekecewaan wakil kepala suku itu pada Si Udin. Tapi apa mau dikata lagi, kau sendiri sudah tahu kan, kawan?  Bagaimana sifat si Udin itu. Dia tidak akan memebeberkan masalahnya hanya untuk alasan pembelaan diri. Dia merasa lebih baik diam dan mengaku salah daripada harus menyalahkan orang lain. Dan aku pikir tidak akan ada juga yang akan menganggap ini sebagai sebuah masalah. 
Tapi ini semua dia ceritakan kepadaku, kawan. Hanya kepadaku saja. Dan sayangnya, akhirnya semua kuungkap juga kepadamu. Ah! Aku tak peduli lagilah. Demi kebahagiaanmu, Din, apapun akan kulakukan. Sungguh aku tak tahan melihatmu seperti dua hari yang lalu. Sekarang kau tak perlu cemas lagi kan? Kau tahu ada aku, sahabatmu, di sini yang siap mendengarkanmu kapan pun kau butuhkan aku. Sekarang kembalilah menjadi Udin yang ceria lagi. Tak perlu kau pikirkan betul masalah itu lagi. Toh, itu sudah berlalu kan. Dan kurasa tak akan ada lagi kok orang yang mengingatnya. Bangkitkan lagi semangat yang dulu pernah membakarmu, Din. Aku selalu mendukungmu. 
AKU SELALU MENDUKUNGMUUU, DIIIN.

Udin, Ayo Semangat lagi, Din!
PD, 2012/02/07

No comments:

Post a Comment